Peristiwa 15 tahun lalu, masih jelas terekam dalam benak Ibnu (34). Bahkan bencana itu mengukir sejarah dalam kehidupannya dan semua warga Aceh.
Hal yang kemudian dapat tertangkap dari kisah pilu korban adalah adanya keterkejutan masyarakat, yang lantas menciptakan, kegagapan langkah dalam menghadapi bencana saat itu.
Diketahui kemudian, gempa di kawasan Samudra Hindia yang terjadi 26 Desember 2004 itu menelan korban tewas hingga ratusan ribu. Rinciannya, di Aceh mencapai sekitar 170.000 korban jiwa. Sedangkan total di 13 negara mencapai angka 250.000 korban. Jutaan korban lainnya teridentifikasi menderita luka, dan lebih dari lima juta orang kehilangan tempat tinggal.
Seiring waktu, tingginya jumlah korban, baik jiwa dan luka, dalam bencana tersebut dikaji dalam beragam tulisan. Beberapa di antaranya mencoba mendeteksi faktor pemicunya.
Pertama, jarak lokasi pusat gempa ke pantai. Sangat dekatnya jarak episentrum dengan garis pantai, hanya 90 km dari pusat gempa ke arah tegak lurus Pantai Sumatra di Indonesia atau sejauh jarak Bogor Jakarta pulang pergi.
Kedua, banyaknya populasi penduduk yang tinggal di kawasan sepanjang pantai. Ketiga, kurangnya sarana dan prasarana pendukung dan pelindung untuk menghadapi bahaya tsunami. Keempat, kurangnya akses informasi dan pendidikan mengenai kewaspadaan terhadap tsunami.
Kelima, sistem peringatan dini terpasang di samudra pasifik, tapi tidak terpasang di Samudra Hindia. Keenam, kendati beberapa alat canggih milik negara maju sudah mendeteksi gejala tsunami, dan sudah merilis peringatan tsunami kepada negara-negara di wilayah samudra pasifik, informasinya belum sampai ke negara-negara di Samudra Hindia.
Dari asumsi di atas, hanya persoalan pertama yang boleh dikata murni faktor alam. Namun persoalan kedua hingga keenam jelas terkait pada minimnya upaya mitigasi kebencanaan di daerah rawan bencana. Termasuk di dalamnya terkait peringatan dini bencana.
Bencana Mengintai
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1579581292_banjir.jpeg" style="height:300px; width:450px" />
Seorang anak memegang ular yang ditemukannya saat banjir di Jalan Jatinegara Barat, Kampung Pulo, Jakarta, Kamis (2/1/2020). Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 2 Januari 2020, terdapat 63 titik banjir di wilayah DKI Jakarta dan secara keseluruhan terdapat 169 titik banjir untuk Jabodetabek dan Banten. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/wsj.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UN-ISDR /United Nations Office for Disaster Risk Reduction/UNISDR) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang paling rawan terhadap bencana di dunia. Predikat ini dihitung dari jumlah korban jiwa yang terdampak akibat bencana alam.
Dalam laman Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) diungkapkan bahwa secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Di mana pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatra - Jawa - Nusa Tenggara - Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa.
Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Data menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di Amerika Serikat (Arnold, 1986).
Gempa bumi yang disebabkan karena interaksi lempeng tektonik dapat menimbulkan gelombang pasang apabila terjadi di samudra. Dengan wilayah yang sangat dipengaruhi oleh pergerakan lempeng tektonik ini, Indonesia sering mengalami tsunami. Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah seismik aktif lainnya (Puspito, 1994).
Selama kurun tahun 1600-2000 terdapat 105 kejadian tsunami yang 90 persen di antaranya disebabkan oleh gempa tektonik, 9 persen oleh letusan gunung berapi dan 1 persen oleh tanah longsor (Latief dkk., 2000). Wilayah pantai di Indonesia merupakan wilayah yang rawan terjadi bencana tsunami terutama pantai barat Sumatra, pantai selatan Pulau Jawa, pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Papua dan hampir seluruh pantai di Sulawesi.
Laut Maluku adalah daerah yang paling rawan tsunami. Dalam kurun waktu tahun 1600-2000, di daerah ini telah terjadi 32 tsunami yang 28 di antaranya diakibatkan oleh gempa bumi dan 4 oleh meletusnya gunung berapi di bawah laut.
Bukan hanya itu, wilayah Indonesia juga terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yaitu panas dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim. Kondisi iklim seperti ini digabungkan dengan kondisi topografi permukaan dan batuan yang relatif beragam, baik secara fisik maupun kimiawi, memang menghasilkan kondisi tanah yang subur.
Namun, kondisi itu juga dapat menimbulkan beberapa akibat buruk bagi manusia. Seperti terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan. Apalagi seiring berkembangnya waktu dan meningkatnya aktivitas manusia, kerusakan lingkungan hidup cenderung semakin parah dan memicu meningkatnya jumlah kejadian dan intensitas bencana hidrometeorologi (banjir, tanah longsor dan kekeringan) yang terjadi secara silih berganti di banyak daerah di Indonesia.
Hal lain, meski pembangunan di Indonesia telah dirancang dan didesain sedemikian rupa dengan dampak lingkungan yang minimal, proses pembangunan tetap menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem. Pembangunan yang selama ini bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam (terutama dalam skala besar) menyebabkan hilangnya daya dukung sumber daya ini terhadap kehidupan masyarakat. Dari tahun ke tahun sumber daya hutan di Indonesia semakin berkurang, sementara itu pengusahaan sumber daya mineral juga mengakibatkan kerusakan ekosistem yang secara fisik sering menyebabkan peningkatan risiko bencana.
Seiring waktu berganti, besarnya potensi ancaman bencana alam di negeri ini telah membuat pemerintah bersama berbagai elemen lainnya gencar mengambil langkah. Di antaranya, mewujudkan perhatian serius pada manajemen penanggulangan bencana lewat penerbitan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB). Di mana badan tersebut memiliki fungsi koordinasi yang didukung oleh pelaksana harian sebagai unsur pelaksana penanggulangan bencana. Sejalan dengan itu, pendekatan paradigma pengurangan risiko bencana menjadi perhatian utama.
Kemudian pada 2008, Pemerintah Indonesia kian serius membangun legalisasi, lembaga, maupun budgeting terkait penanggulangan bencana. Terbukti, setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sendiri BNPB terdiri atas kepala, unsur pengarah penanggulangan bencana, dan unsur pelaksana penanggulangan bencana. BNPB memiliki fungsi pengkoordinasian pelaksanaan kegiataan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
Standardisasi Peringatan Dini
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1579581309_banjir2.jpeg" style="height:300px; width:478px" />
Banjir merendam kawasan Kampung Pulo dan Bukit Duri di Jakarta, Kamis (2/1/2020). Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 2 Januari 2020, terdapat 63 titik banjir di wilayah DKI Jakarta dan secara keseluruhan terdapat 169 titik banjir untuk Jabodetabek dan Banten. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/wsj.
Pada awal Maret 2016, di Deli Serdang, sehari setelah terjadinya gempa bumi berkekuatan 7,8 SR di 682 km arah barat daya Kepulauan Mentawai Sumatera Barat, Presiden Joko Widodo mengaku telah melihat adanya kesadaran dari masyarakat apabila ada peringatan akan terjadinya sebuah bencana. Dia menyebutkan, masyarakat bahwa merespons dengan cepat dan bergerak menuju suatu tempat yang aman. "Semuanya sudah menyadari. Itu penting," ucap Presiden di Bandara Kualanamu, Kamis (3/3/2016).
Diketahui, saat early warning system atau peringatan dini bencana diberikan di Mentawai, masyarakat diketahui sigap bergerak dan mematuhi arahan dari pemerintah untuk menuju suatu tempat atau lokasi.
Early warning memang menjadi salah satu kunci utama dalam upaya menekan dampak bencana. Lantaran itu pulalah, Badan Standarisasi Nasional (BSN) pun menetapkan SNI Sistem Peringatan Dini Bencana. Penetapan Standar Nasional Indonesia (SNI) 8840-1:2019 Sistem peringatan dini bencana - Bagian 1: Umum itu dilakukan setelah melalui serangkaian tahapan perumusan rancangan SNI oleh Komite Teknis 13-08, Penanggulangan Bencana.
Disampaikan Direktur Pengembangan Standar Infrastruktur, Penilaian Kesesuaian, Personal, dan Ekonomi Kreatif BSN Hendro Kusumo di Kantor BSN, Jakarta, Selasa (14/01/2020), standar ini dirumuskan agar dapat digunakan sebagai pedoman dalam penerapan sistem peringatan dini bencana di kawasan rawan bencana.
Diharapkan, melalui itu kesadaran para pelaku dan masyarakat mengenai panduan bagaimana melakukan peningkatan kesiapsiagaan masyarakat di kawasan rawan bencana melalui penerapan sistem peringatan dini dapat ditingkatkan. “Sistem peringatan dini bencana ditujukan untuk memberdayakan individu-individu dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana agar bisa melakukan antisipasi bencana sesuai arahan otoritas lokal maupun tim siaga bencana. Peningkatan kesiapsiagaan tersebut penting dilakukan secara terus menerus dengan maksud untuk mengurangi dampak dan risiko korban jiwa akibat terjadinya bencana,” jelas Hendro.
Idealnya, menurut Hendro, SNI menjadi acuan bagi otoritas lokal (Rukun Tetangga, Rukun Warga, Kelurahan, dan seterusnya), tim siaga bencana serta masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana untuk bisa memberi dan/atau menangkap adanya peringatan dini bencana serta menentukan langkah-langkah antisipasi. “Yang dimaksud tim siaga bencana, adalah menyiapkan tim atau kelompok yang berisikan anggota yang dipilih berdasarkan kemampuan masing-masing anggota dalam setiap upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, penanganan darurat, dan penanganan pasca bencana,” ujar Hendro.
Lebih khusus, tim siaga bencana sebaiknya terdiri dari individu-individu dengan pengetahuan tentang daerah rawan bencana, pengelolaan data dan informasi, peringatan dini dan sistem evakuasi, kesehatan, logistik, dan keamanan. Tim siaga juga harus memahami sistem peringatan dini bencana yang terdiri atas lima sub-sistem utama, yaitu pertama, pengetahuan tentang risiko. Kedua, diseminasi dan komunikasi. Ketiga, pemantauan dan penyampaian peringatan. Keempat, kemampuan merespons. Dan kelima, membangun komitmen dalam pengoperasian dan pemeliharaan.
Tim siaga bencana dan/atau otoritas harus melakukan semua tahapan dari lima sub-sistem utama. Otoritas atau pemangku kepentingan harus mendukung tim siaga bencana agar mampu mengimplementasikan lima sub-sistem tersebut. Terkait pengetahuan tentang risiko tersebut, Hendro mengutarakan, tim siaga bencana dan/atau otoritas harus memiliki pengetahuan yang mencakup aspek fisik, kelembagaan, aspek sosiobudaya, ekonomi dan lingkungan. Dengan demikian dapat memberikan pemahaman dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk melakukan respons yang tepat untuk menghindari dan melindungi diri sendiri dari bencana.
Tim siaga bencana akan bertugas untuk melakukan seluruh kegiatan antara lain, menentukan daerah risiko bencana, tempat evakuasi, dan jalur evakuasi; mengarahkan, menyiapkan, dan melatih masyarakat; serta mengatur desain-pemasangan-operasional-pemeliharaan sistem peringatan dini.
“Masyarakat harus mengikuti instruksi dan panduan dari tim siaga bencana, terutama kemampuan merespon. Dan juga, masyarakat harus mengikuti denah dan jalur evakuasi, panduan operasional evakuasi dan tak lupa ikut serta secara aktif dalam latihan evakuasi,” ungkap Hendro.
Tim siaga bencana dan atau otoritas akan melakukan pemasangan alat peringatan dini yang diprioritaskan pada daerah dengan sumber ancaman berisiko paling tinggi dan potensi dampak jiwa terpapar yang paling besar. Alat peringatan dini disesuaikan dengan jenis/tipe bencana yang mengancam suatu wilayah; pengamatan data dari alat peringatan dini secara regular; dan perawatan alat peringatan dini. Hasil pemantauan tersebut, kemudian dianalisis oleh instansi yang berwenang, selanjutnya dilaporkan kepada pemerintah/pemerintah daerah untuk disampaikan dalam bentuk peringatan atau perintah evakuasi kepada masyarakat.
SNI 8840-1:2019, menjadikan otoritas lokal, tim siaga, dan masyarakat memiliki kesamaan pengertian dan mempunyai panduan yang baku dalam menangkap peringatan dini sehingga semua bisa bergerak secara bersama-sama mengantisipasi dampak bencana.
“Tak kalah pentingnya ketiga pihak tersebut juga harus memahami dan melakukan mitigasi bencana, yang menurut SNI ini, dapat dilakukan dengan pendekatan struktural dan non-struktural,” ujar Hendro.
Pendekatan struktural mencakup pembangunan konstruksi yang mencegah dan melindungi masyarakat, infrastruktur dan sumber penghidupan dari bencana, dimana kegiatan tersebut membutuhkan biaya yang tinggi dan waktu yang lama. Sementara pendekatan non-struktural yaitu dengan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat melalui penerapan sistem peringatan dini.
Hendro juga menambahkan bahwa SNI ini akan merupakan 'family standard' terkait peringatan dini bencana, dimana selanjutnya masih akan dirumuskan standar bagian lainnya yang lebih spesifik menurut jenis bencananya, yaitu tanah longsor, banjir, gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi. (N-1/Vr)